CIANJURTODAY.COM - Saat ini sedang viral perihal kecerdasan buatan atau dalam istilah natural disebut Artificial Intelligence (AI). Konsep AI ini sesungguhnya telah dimulai sekitar 83 tahun yang lalu, atau sekitar enam tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ide AI pertama kali digagas oleh McCulloch dan Walter Pitts ketika memulai mengembangkan jaringan saraf buatan dan kemudian disusul oleh adanya “Tes Turing”, merupakan tes yang digunakan untuk menguji suatu kecerdasan buatan, yang digagas oleh Alan Turing pada 1950. Revolusi industri berbasis teknologi mendorong perkembangan pesat dalam hal komputasi, algoritma “machine learning”, dan kemampuan pemrosesan. Bahkan sebelum Chat GPT (Generative Pre-trained Transformer) yang di gagas oleh Elon Musk melalui Open AI, sesungguhnya AI yang lain telah ada di sekitar kita terlebih dahulu dan beberapa tertanam pada ponsel pintar yang kita selalu gunakan dengan intensitas tinggi setiap hari. Beberapa orang sadar dan banyak juga yang tidak bahwa ponsel “kita” memiliki asisten virtual dengan memanfaatkan konsep AI seperti Siri yang dimiliki perusahaan Apple, Cortana milik Microsoft, dan Google Assistant milik Google. Hanya saja, mungkin asisten virtual tersebut belum memiliki perbendaharaan data yang jumlahnya bisa dikatakan “banyak”, paling tidak untuk dapat menyaingi mesin pencari milik Google. Namun ramainya kemunculan Chat GPT pada tahun 2022 dan kemampuannya yang bisa dinilai luar biasa untuk ukuran mesin, membuat semua orang menjadi “melek” AI dan berbondong-bondong mendatangi laman Chat GPT berada. Sampai-sampai laman tersebut membatasi penggunanya akibat dari lalu lintas pengguna yang tinggi.
Baca Juga: TikTok Ikut Kembangkan Chatbot AI, Ingin Saingi ChatGPT?
Tanpa menunggu waktu yang lama, masyarakat dunia sadar bahwa AI ini dapat dimanfaatkan untuk dapat membantu pekerjaan mereka. Kendati Chat GPT masih dalam versi beta, banyak profesional bahkan menguji efektivitas penggunaan Chat GPT untuk membantu pekerjaan mereka dan hasilnya sungguh positif. Tanpa butuh waktu lama, banyak pakar memprediksi bahwa perkembangan AI akan mengubah banyak hal secara signifikan di masa depan, termasuk institusi pendidikan. Banyak siswa maupun mahasiswa memanfaatkan Chat GPT untuk membantu mereka dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru atau dosennya. Akibatnya, beberapa Universitas dan Sekolah di Prancis, Amerika, bahkan Jepang dengan tegas melarang penggunaan Chat GPT atau AI sejenis masuk dalam proses pembelajaran. Sikap tersebut dapat dipandang sebagai langkah praktis atau langkah panik sebagai akibat belum adanya solusi terbaik dalam sistem kurikulum yang dapat menggandeng AI. Menarik, karena seharusnya institusi pendidikan mempunyai ruang untuk kebebasan akademik, termasuk penggunaan AI yang sesuai etika akademik. Karena pada hakikatnya dunia pendidikan dan industri memiliki hubungan spiral.
Seberapa “bahaya” sesungguhnya AI dalam ranah pendidikan saat ini? “Bahaya” dalam hal ini berarti seberapa besar dan seberapa baik solusi yang ditawarkan AI untuk siswa atau mahasiswa yang memanfaatkannya, sehingga sorang pendidik kesulitan untuk membedakan mana pekerjaan muridnya dan mana yang bukan. Ambil contoh di Amerika, terdapat informasi terbaru bahwa Chat GPT dapat menjawab lebih dari 50% soal tes kedokteran di Amerika. Selain itu, dengan banyaknya data yang dikumpulkan, Chat GPT bahkan dapat membuat karya tulis yang cukup baik, bahkan dapat mengarang sebuah lagu yang dapat diterima di masyarakat. Artinya, banyak peran yang dapat diambil alih oleh dengan efisiensi dan efektivitas yang tinggi dan mengakibatkan terancamnya peran manusia. Namun dengan melarang masuknya AI di institusi pendidikan apakah serta merta memberikan solusi terhadap ancaman tersebut dan membuat pengembangan AI menurun? Tentu jawabannya tidak. Akibatnya, peran spiral pendidikan dan industri jadi bias, dan seakan-akan institusi pendidikan “ditampar” oleh kehadiran AI.
Baca Juga: TikTok Ikut Kembangkan Chatbot AI, Ingin Saingi ChatGPT?
Jadi seperti apa solusi terbaik dari kehadiran AI? Mungkin terkesan terlalu meremehkan. Namun secara umum solusi penggunaan AI pada institusi pendidikan tak ubahnya seperti kebijakan sekolah atau sejenisnya dalam memperlakukan alat komputasi, seperti kalkulator atau komputer, dahulu. Tentu mungkin tidak sesederhana itu implementasinya. Namun secara intuitif pola solusinya relatif sama. Seorang Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) bahkan menguji AI, melalui Chat GPT, dengan soal analitis kalkulus dan menemukan bahwa Chat GPT melakukan beberapa kesalahan dan dalam beberapa nomor soal menghasilkan nilai “0” karena kesalahan yang mayor. Tentu hal tersebut dapat berubah seiring dengan perkembangan AI yang lebih maju di masa depan. Namun, hasil pengujian tersebut memberikan signal solusi sebenarnya untuk dapat menggandeng AI dalam dunia pendidikan. Artinya perlu adanya kesadaran hasil tamparan AI terebut pada sistem kurikulum yang dikembangkan. Mungkin institusi pendidikan harus merumuskan ulang sistem kurikulumnya, dari mulai perencanaan sampai evaluasi. Model pembelajaran yang disarankan tentu harus mengakomodir kehadiran AI atau sejenisnya, sehingga proses pembelajaran dan evaluasi akan berbeda dari sebelumnya. Sebagai contoh, Dosen ITB yang menguji soal kalkulus tersebut tentu tau letak kesalahan AI karena merupakan pakar di bidang terebut. Mungkin apabila orang awam yang melihat jawaban dari Chat GPT tersebut akan percaya bahwa jawaban itu baik. Oleh karena itu, pengembangan kemampuan reasoning perlu menjadi perhatikan khusus dalam ranah pendidikan, terutama di Indonesia, yang masih rendah dalam hal tersebut apabila berkaca pada nilai PISA (Programme for International Student Assessment). Sekali lagi, jelas AI “menampar” kita agar mempercepat tuntutan agar institusi pendidikan dapat mempercepat sistem yang dapat mengakomodir pengembangan kemampuan reasoning siswanya.
Penulis: Sugama Maskar (Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia & Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Teknokrat Indonesia)
Artikel Terkait
TVOne Kenalkan 2 Presenter AI Sebagai Terobosan Untuk Pemanfaatan Teknologi Terkini
Apple Larang Karyawan Menggunakan ChatGPT, Ini Alasannya
Apple Mempekerjakan Orang Untuk Mengerjakan Produk Bertenaga AI-nya Sendiri